Lalu kata Zakharia kepada malaikat itu: “Bagaimanakah aku tahu, bahwa hal ini akan terjadi? Sebab aku sudah tua dan isteriku sudah lanjut umurnya.” (Lukas 1 : 18)
Jika sobat berkunjung ke barak tentara Indonesia, kita sering kali kita mendapati slogan besar yang tertulis Ragu ragu, lebih baik kembali!. Slogan tersebut bukan saja sebagai pengingat namun juga memberikan pesan bahwa setiap langkah yang diselimuti keraguan, pasti tidak akan menyelesaikan persoalan sehingga lebih baik kembali ke titik awal untuk menyusun kembali keyakinan.
Keraguan merupakan hal dasar yang ada dalam setiap manusia.. Dalam dunia psikologi keraguan dipandang sebagai sebuah sindrom yang dikenal sebagai impostor syndrome yakni sebuah sindrom di mana manusia memiliki keraguan atas diri sendiri dalam mencapai suatu tujuan. Sindrom ini umum dijumpai dalam kehidupan dan cukup mengganggu karena jika terus menerus terjadi dapat menimbulkan kecemasan, stres, bahkan depresi.
Hal ini timbul ketika logika tidak bertemu ketika menghadapi kenyataan. Sering kali keraguan itu muncul karena kita mengandalkan diri kita sendiri, ah jangan jangan gagal nih karena saya tidak pandai bahasa Inggris.
Aduh bisa nggak yah, karena saya tidak kaya,mana mungkin saya bisa lulus. Gimana nih, kayaknya gagal nih. Gak mungkin saya bisa lalui ini semua saya kan lemah.
Ini semua merupakan salah satu contoh ungkapan keraguan sering kali kita ucapkan dengan tidak sadar, meragukan kemampuan diri kita ketika melihat tantangan yang besar, melihat kondisi yang berat secara tidak sadar keraguan ini membawa kita kepada ketidakpercayaan. Alih-alih berhasil tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Padahal ada elemen lain di luar kemampuan kita yang dapat membantu kita yakni Iman.
Hal yang sama terjadi dalam kisah Injil yang disampaikan kepada kita hari ini. Penginjil Lukas nampaknya menguraikan dengan detail lewat bacaan hari ini mengenai proses kehadiran Yohanes Pembabtis. Sebagai manusia yang lemah, Zakaria merasa ragu akan pesan yang disampaikan oleh malaikat, padahal yang disampaikan adalah wahyu Allah yang tidak pernah meleset.
Keraguan Zakaria terjadi ketika logika manusia dan kenyataannya tidak sebanding lurus sehingga muncul keraguan: “Bagaimanakah aku tahu, bahwa hal ini akan terjadi? Sebab aku sudah tua dan istriku sudah lanjut umurnya.”.
Ironisnya alih-alih percaya, Iman Zakaria goyah dan tidak percaya akan firman yang dibawa oleh sang Malaikat. Keraguan ini timbul ketika Zakaria lebih mengandalkan logika manusia daripada kaca mata imannya.
Keraguan Zakaria, adalah keraguan kita manusia manusia modern saat ini. Kita sering kali ditantang situasi di mana logika kita lebih dominan sehingga mengaburkan iman kepercayaan kita kepada penyelenggaraan Ilahi.
Sering kali kita goyah dan ragu akan kebenaran yang telah didasarkan oleh Yesus sendiri, ragu akan ajaran para Bapa Gereja yang menyuarakan kebenaran, ah masak sih kita orang Katolik Menyembah patung? Ah apa benar di salib Yesus ada unclean spirit. Ah apa bener Yesus itu Tuhan? Masih banyak contoh keraguan yang berkecamuk di masyarakat saat ini yang bisa saja mewabah menghantui iman kita.
Ada hal menarik setelah Zakaria mengungkapkan keraguannya, seketika itu juga Zakaria menjadi bisu. Kebisuan yang dialami oleh Zakaria bukan sekadar sebuah hukuman atas ketidakpercayaan namun suatu peringatan bahwa indera manusia bisa salah sehingga diperlukan keheningan batin untuk membaca tanda iman.
Hal yang dapat dipelajari dalam bacaan hari ini adalah agar kita tidak mudah hanya mengandalkan indera serta logika manusia namun juga mengutamakan mata iman sehingga melihat segala sesuatu dari kaca mata iman, yang kedua bahwa keraguan tidak akan menyelamatkan sehingga ketika ketika kita dihadapkan situasi yang berat, jalan satu satunya adalah mengheningkan mulut kita, membisukan logika kita dan mendekatkan diri pada pernyataan iman. Pernyataan iman perlu diasah dengan cara selalu mendengarkan firman Allah, dekat kepada Allah lewat laku doa rutin dan mengasah kepekaan kita dengan selalu mendengarkan suara hati.
Suara hati yang terasa akan selalu mengarahkan langkah kaki kita menuju keselamatan. Tantangannya adalah dengan kondisi post truth di mana kebenaran dapat dikontruksi demi kepentingan segelintir orang, maka kita sebagai seorang seorang Katolik tidak perlu ragu akan dasar iman kita adalah benar sehingga dengan dasar iman tersebut sebagai patokan tolak ukur bertindak dan mengambil keputusan. Dengan selalu menghadirkan Yesus maka suara hati kita akan selalu terasah agar kita tidak ragu dalam bertindak.
Ya Yesus andalanku, Aku bersyukur karena Engkau sumber kehidupanku ajarlah aku tidak melulu memakai logikaku, pemahamanku untuk mengenal Engkau, bawalah aku, tenggelamkanlah aku kedalam hati-Mu yang maha luas agar aku semakin yakin bahwa hanya Engkaluah jalan, kebenaran dan kehidupanku sebab Engkaulah raja yang mulia dan kekal untuk selama lamanya demi Yesus Kristus Tuhan kami. Amin
Penulis: Rangga Nalendra. Pengisi: Rediningrum Setyarini