Renungan Tetes Embun: Rabu, 1 Februari 2023
“Pada hari Sabat Ia mulai mengajar di rumah ibadat dan jemaat yang besar takjub ketika mendengar Dia dan mereka berkata: “Dari mana diperoleh-Nya semuanya itu? Hikmat apa pulakah yang diberikan kepada-Nya? Dan mujizat-mujizat yang demikian bagaimanakah dapat diadakan oleh tangan-Nya? Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria, saudara Yakobus, Yosef, Yudas dan Simon? Dan bukankah saudara-saudara-Nya yang perempuan ada bersama kita?” Lalu mereka kecewa dan menolak Dia.”
(Markus 6:2-3)
Sejak jaman Yesus hidup sudah terjadi kebiasaan untuk memandang bibit atau asal muasal seseorang. Mereka hanya menghormati orang-orang yang berasal dari keluarga terpandang. Mereka menganggap bahwa kesuksesan seseorang terjadi secara turun temurun.
Pendapat masyarakat, keluarga pejabat atau yang mempunyai kekayaan berlimpah pasti mempunyai keturunan yang lebih unggul. Mereka selalu dipandang mempunyai kelebihan. Meskipun, ada yang kemampuannya di bawah rata-rata atau berperilaku negatif.
Memang sulit untuk menjadi sosok yang berdiri sendiri, tidak melibatkan rekam jejak keluarga.
Markus, salah seorang murid Yesus, memberi kesaksian bahwa Yesus pun mengalaminya. Profesi Yesus sebagai guru tidak diterima oleh warga Nazaret, kampung halamannya. Mereka menganggap bahwa bidang pekerjaan tersebut tidak pantas bagi anak seorang tukang kayu.
Guru adalah profesi yang terhormat pada masa itu. Hanya orang yang berasal dari keluarga tertentu yang bisa menjadi guru. Menanggapi penolakan tersebut Yesus menyikapinya dengan rendah hati. Yesus tidak memaksakan kehendak-Nya. Dia menahan diri untuk tidak banyak melakukan mukjizat. Yesus kecewa, tetapi tidak marah.
Yesus tetap menolong orang dengan menyembuhkan penyakitnya. Perilaku yang layak menjadi panutan para pengikut Yesus. Ketidaksediaan masyarakat untuk menerima orang lain sering terjadi karena keadaan finansial, latar belakang keluarga, kondisi fisik, dan lainnya. Penyebabnya adalah kelemahan manusia untuk memahami karya Allah dalam setiap ciptaan-Nya.
Manusia hanya mengandalkan kekuatannya yang terbatas sehingga sering salah mengartikan karya Ilahi. Memandang rendah pada masyarakat prasejahtera dengan segala pergumulan mereka. Perlu hati yang jernih agar memahaminya. Mengambil kesempatan untuk menunjukkan kasih pada Allah dengan mengasihi mereka.
Merendahkan hati dan terus melangkah dengan semangat dalam melakukan yang terbaik bagi kemuliaan-Nya
Bapa yang Maha Penyayang, kami mohon Engkau mau memelihara kerendahan hati kami saat menerima penolakan. Jernihkan hati kami agar dapat selalu memahami setiap karya Ilahi sehingga kami dapat menerima setiap orang yang tersisih dari masyarakat. Amin.
Penulis Renungan: Rosita Sukadana
Pengisi Renungan: Clara C. Maria Imm. Wara Wulandaru