Renungan Tetes Embun: Selasa, 7 Februari 2023.
“Karena itu orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat itu bertanya kepada-Nya: “Mengapa murid-murid-Mu tidak hidup menurut adat istiadat nenek moyang kita, tetapi makan dengan tangan najis?” (Mark 7:5)
Nun Jauh di sebuah novisiat , Seorang Pastur Magister memerintahkan para Fraternya sebelum ibadat malam, agar anjing penjaga selama ibadat berlangsung di ikat di depan pintu masuk kapel. Alasannya adalah agar tidak menggangu jalannya ibadat dan mereka dijaga oleh anjing tersebut.
Setelah sekian lama, akhirnya sang pastur Magister tersebut wafat dan sang anjing tersebut tetap diikat ketika selama ibadat malam berlangsung. Bahkan setelah anjing itu mati, maka para frater mencari penggantinya dan dibawa di dalam novisiat itu untuk diikat seperti tradisi yang telah lama ada dalam novisiat itu yakni selama ibadat malam tepat di depan pintu kapel.
Bertahun tahun lamanya tradisi itu berjalan,hingga terdapat aturan regula dalam novisiat itu mengenai mengikat anjing di depan kapel dan kitab kitab tafsir dengan pandangan teologis dari para Pastur yang berasal dari novisiat itu mengenai pentingnya anjing diikat didepan kapel. Semua itu berawal dari sebuah tradisi.
Injil hari ini dengan gamblang menegur orang Yahudi yang lebih mementingkan tradisi nenek moyang daripada mengikuti aturan Tuhan. Pemahaman beriman yang seperti ini yang ditegur keras oleh Yesus karena alasan ‘hukum iman’, banyak orang Farisi yang mencari keuntungan pribadi. Seolah-olah kewajiban iman menghilangkan kewajiban moral. Contoh jelasnya soal kewajiban hormat pada orang tua.
Karena alasan kewajiban agama, pemeliharaan kepada orang tua diabaikan. Hal ini ditentang oleh Yesus. Dengan jelas Yesus mengatakan golongan orang demikian adalah orang munafik. Teguran keras itu masih sangat relevan dengan praktik beriman kita pada masa ini. Sering kali kita terjebak pada aturan tradisi manusia daripada mengenal Tuhan. Acap kali kita terjebak menomorsatukan tradisi, dan menomorsekiankan Tuhan.
Tidak jarang terjadi bahwa demi peraturan ada manusia yang dikorbankan. Dalam kehidupan harian, kita sering menemukan berbagai aturan yang mencekik dan lebih berat daripada aturan Allah sendiri, akibatnya banyak penderitaan dan ketidakadilan karena peraturan yang menindas itu. Bacaan hari ini mengajak kita beriman yang humanis. Artinya semakin saya beriman, semakin saya menjadi manusia yang utuh.
Manusia yang utuh adalah mereka yang secara rohani dan manusiawi seimbang. Konkretnya semakin saya rajin berdoa, kepedulian kepada sesama seharusnya juga semakin besar. Sehingga kita diajak tidak terikat kebiasaan dan tradisi manusia tetapi yang kita imani, itulah yang kita harus kita hidupi.
Selain itu,dalam hal prinsip taat kepada Allah, sikap taat terhadap Allah harus diutamakan dan bukan mendahulukan peraturan manusiawi, apalagi peraturan yang membuat kita mengabaikan Tuhan dan sesama.
Allah Tritunggal Maha Kudus, ku angkat syukurku atas hari yang telah terlewati, Ajarlah kami tunduk pada aturanMu bukan tunduk dan mengorbankan rasa manusiawi kami. Ajarlah hatiku agar mampu peka sebab hanya Engakulah Tuhan yang berkuasa dan berdaulat untuk selamanya. Amin
Penulis Renungan: A. Rangga A. Nalendra
Pengisi Renungan: Hedwigis Belto Rosyandari